17.5.11

Cerpen: Cewek Aneh Untuk Bad Boy


Hari ini aku berharap, semoga nggak ada lagi hal-hal aneh yang terjadi dan semoga nasib baik menaungiku bagai awan. Oh Tuhan… Ku mohon jawablah pintaku…
“Lagi-lagi kamu! Sampai kapan kamu terus-terusan terlambat?!” Si security kumisan ini sok-sok masang tampang jutek. Padahal dari potongannya dia lebih cocok berprofesi sebagai tukang cendol.
“Bapak kan tau sendiri kalau saya mengidap penyakit diare. Masa’ bapak tega sih sama orang sakit?” Aku memelas sambil memegang-megang perut.
“Mana mungkin sakit sampai bertahun-tahun?” Bapak itu memelototkan matanya. “Kamu pikir saya bisa apa dibodoh-bodohin?”
“Sekali ini aja deh pak… Tolong ijinin saya masuk. Besok-besok saya janji nggak akan terlambat lagi,” mohonku.
“Ah, bosan saya dengar janji itu terus,” ucapnya sadis. “Lebih baik kamu pulang aja sana,” Dia berbalik untuk menjauh.
Seorang cowok mendadak datang dan menggedor-gedorkan pintu gerbang. Jantungku dibuatnya turun sampai dua senti.
“Pak, pak, bukain pak,” teriaknya.
“Oh, nak Rangga. Tunggu sebentar,” Pak security melembutkan suaranya kepada cowok yang ternyata bernama Rangga ini. Seolah-olah yang bicara denganku tadi bukan dia, tetapi buto ijo yang datang dari dimensi dua.
Ugghhh… nggak adil.
Security yang tak berhati ini membukakan pintu gerbangnya buat si Rangga.
“Pak, dia juga diijinin masuk ya?” pinta cowok itu.
“Tapi nak Rangga…,”
“Ayolah pak, kasian dia,”
“Ya sudah kalau itu maunya nak Rangga,”
Aku memasuki kawasan sekolah dengan langkah tegap nian pasti. Seakan-akan belum terjadi apa-apa sebelumnya. Aku nggak peduli dengan ekspresi konyol pak security ketika menatapku.
Aku berjalan mendahului si Rangga.
“Hey! Nama lo siapa?” Dia memberhentikan langkahku.
Aku memalingkan wajahku kebelakang. Kutatap dia. Hmmm… tampangnya lumayan, karismanya terpancar, dan bodynya keren. Ah, enggak! Aku nggak tertarik.
“Gue Tania,”
Aku kembali berjalan dan tak memperdulikan dia lagi.
*
Aku melangkah keluar kelas bersama kedua sohibku, Nalin dan Atha. Kami mau menuju perpustakaan. Ketika jam istirahat kami lebih sering kesana daripada ke kantin. Dengan tujuan yang sama, yaitu membaca novel.
Sejurus, mataku tertuju pada sebuah pohon palem pendek yang ada ditengah lapangan sekolah. Di pelepah pohon itu ada seekor laba-laba hitam besar yang sedang merangkai sarangnya. Ada niat untuk merusak habitatnya. Haha.
“Bentar ya?” Aku meninggalkan kedua temanku.
“Eh, mau kemana?” Mereka berniat menghalang. Tapi tak kupedulikan.
Ku bengkokin batang kamboja. “Boja, maap ya? Aku telah melukaimu,”
Aku berjalan mendekati laba-laba itu. Kudekatkan wajahku ketubuhnya. Bibirku menyungging senyum jahil. Dihatiku seakan ada yang menggelitik.
Aku berencana untuk menempelkan getah yang ada dibatang kamboja ketubuh laba-laba itu. Supaya laba-labanya sulit bergerak.
“Haha. Nih laba-laba bagusnya dikasih sun block. Kasiankan? Rumahnya nggak ada atapnya,”
Tapi… “Auw!” Seekor kodok loncat ke kepalaku dan mengacak-acak rambutku.
“Dasar kodok jelek menjijikkan!” Aku mengejarnya. Kalau dapat, nggak ada ampun. Uh, heran! Sejak kapan kodok menjadi pangerannya laba-laba?
Kodoknya menyelip dibalik rerumputan. Aku melompat untuk menangkapnya. “Hyaa..at,” Fuh! Tidak bisa ditangkap. Oh… Dia ingin memicu adrenalineku? Hmmm… menantang ya… Baiklah!
Kodok itu membuatku semakin geram.
Keringatku bercucuran. Karena yang ku lakuin sedari tadi adalah lompat-lari-jongkok-bangun.
“Ih, aneh banget sih tuh orang,” Suara-suara nggak penting menyinggahi gendang telingaku. Bodo’!
“TAANIIIAAAAA!!!!” Terdengar suara cempreng menggelegar. Seakan dunia berguncang. Pasti itu suaranya bu Kokom yang gendut.
Mataku menangkap sosoknya. “Hehe, ibu. Ada apa?” Aku nyengir sejadinya.
“Siapa yang menyuruhmu memporak-poranda sekolah ini?!” Suara seratus desibel itu seakan menyayat ubun-ubunku. “Memporak-poranda? Ah, nggak enak banget bahasanya,” lirih bu Kokom. Bola matanya bergerak keatas, jari telunjuk yang kanannya menempel di dagu, dan tangan kirinya menopang di pinggang. Kini jari telunjuk yang kanannya kembali menunjuk-nunjukku. “Eh, maksudnya mengacak-acak sekolah ini, hah?!” Nih guru, memang telmi. Mungkin bawaan lahir.
“Tadi itu Cuma… Aw!” Bu kokom menarik gendang telingaku. Sakieet. “Ampun buk. Tadi itu Cuma sport siang.”
“Alasan konyool. Poko’nya, kamu harus diadili di ruang bimpen,”
“Hayolah bu… Itukan hanya masalah sepele,” Aku mencoba melindungi diri.
“Apa katamu?!” Suara bu Kokom melengking. Telingaku jadi nyut-nyutan saking dengungnya.
“Kamu tau sendirikan kalau halaman sekolah kita adalah halaman yang paling indah se-Indonesia!” Bu Kokom memperjelas artikulasinya dibagian kata Indonesia.
Aku mendengus pasrah. Siap dijadiin barbeque. Eh, emangnya aku sapi? Kagak, kagak.
“Buk!” Tubuhku tehempas di kursi. Bu kokom mendorongku. Tega.
Sekarang dihadapanku ada seorang wanita bermata tajam yang sepuluh kali lipat lebih extreme dibanding bu Kokom. Namanya bu Duma. Sebenarnya nama panjang beliau adalah Dumaliah.
“Bu, Tania ini telah berani-beraninya menyentuh halaman sekolah kita,” Ucap bu Kokom sok garang.
“Brak!” Jantungku mengecil gara-gara bu Duma memukul mejanya. “Apa!”
“Nggak apa-apa buk,” Seandainya aku jawab itu, pasti tamat riwayatku saat ini juga. Aku hanya bisa diam.
“Nggak punya otak apa kamu ya?!” Suara bu Duma diatas rata-rata. “Hosh… hosh…” Beliau menghela nafas panjang. “Kenapa nggak hipertensi aja sekalian nih ibu?” Beginilah kalau akal jelekku udah muncul.
“Baiklah. Sekarang ada tiga pilihan hukuman untukmu,” Si ibu mulai jinak. Eh, tenang maksudnya. “Satu, di skors selama tiga minggu. Dua, siap ibu suruh ngapain aja selama kamu masih menjadi murid di sekolah ini. Atau tiga, mengecat dinding sekolah,”
“Whatt!” Batinku menjerit. Di jaman modern ini masih ada aja kerja rodi?
Aku berpikir… kalau aku milih yang pertama, duh, siapa sudi jadi pengangguran. Kalau yang kedua, mana mungkin… Harga diriku serasa diinjak-injak. Jadi…
“Jawaph!” teriak bu Duma.
“Kettiga buk!” jawabku spontan namun terbata-bata.
*
Gila…’! masa’ setiap mulai jam tiga sore aku menjadi penghuni sekolah sih? Wah… kalau mati, arwahku bisa penasaran nih. Ih, amit-amit.
“Rrrrr,” Handphone berdering. Dari Nalin.
Ku angkat. “Ya, haloo,”
“Tan, maen yuk,”
“Nggak bisa Lin. Lo kan tau sendiri kalau gue lagi dihukum. Dan sekarang, gue lagi ada di sekolah,”
“Yah… Gimana dong...,” Ada nada kekecewaan dari seberang sana. Seharusnya yang kecewa kan aku? Soalnya mereka nggak ada disaat aku butuh. “Kalau gue ajak Atha, dia pasti lagi les vokal,”
“Sori Lin. Lain kali aja ya?” Klik. Aku menutupnya.
Aku berjalan sembari menatap sekolah yang besar itu. “Nggak mungkin! Pasti yang dicat bukan satu sekolah ini,” batinku.
Seandainya aku nggak menjatuhkan pilihan yang ketiga, mungkin…
“Neng,” Ada yang menyapa.
Aku menoleh. Ternyata seorang lelaki setengah baya yang bertubuh kurus dan yang tak lain dan tak bukan adalah seorang cleaning service sekolah.
“Ya pak, ada apa?”
“Ibu Duma berpesan kalau dinding yang dicat adalah dinding ruangan basket dan dinding kantor kepala sekolah.” Ucap bapak itu dengan lembut. Beda jauh dengan guru-guru dan bapak security.
“Oh, makasih ya pak?” Aku merasa doaku terjawab sekarang.
Bapak itu meninggalkanku.
Aku berjalan dengan membawa peralatan mengecat ke ruangan basket. Di ambang pintu, aku mendengar ada suara bola membal-membal. Aku baru tahu kalau anak-anak basket ada jadwal latihan hari ini.
Aku masuk dan tidak memperdulikan mereka. Lagipula, aku jarang melirik cowok apalagi tertarik. Eits! Jangan salah sangka dulu. Aku hanya belum mendapatkan cinta sejati saja kok.
Tapi… ada satu yang beda. Dia adalah cowok keren yang menyelamatkanku tadi pagi. Rasa-rasanya mataku tidak dapat lagi menoleh ke tempat lain.
“Ok, it’s time to take a rest,” Si Rangga memberikan aba-aba untuk istirahat. Sepertinya dia kapten basket.
Semua mata menuju kearahku. Glek! Aku jadi salah tingkah. Mereka pikir aku alien yang nyasar ke planet bumi apa? Ah, apa peduliku? Lebih baik aku mencari tempat yang bagus buat mengecat.
Aku menggerakkan roller ke dinding-dinding itu. Ku putar kepalaku kebelakang. Kutoleh dia. Waduh?! Ternyata dia juga melihat kearahku.
“Buk! Prangk!” Rollernya menimpa sekitar kepalaku dan kemudian terpelanting ke lantai. Aku merasakan noda-noda cat itu.
“Hahaha,” Suara tawa menyelubungi ruangan.
Aku sangat malu sekali dan tak tau harus berbuat apa.
Ada yang menarik pergelangan tanganku. “Yuk!” Si Rangga? Dia membuat tubuhku bergerak mengikuti langkahnya.
Dia bawa aku ke kamar mandi. Diputarnya keran. Handuk yang sedari tadi ada di tangan kirinya dia basahi dengan air yang keluar dari keran.
Kurasakan handuk itu menyentuh wajah dan rambutku dengan tangannya. Dingin. Kutatap wajahnya. Keringat yang membasahi keningnya membuat dia semakin keren.
“Kamu nggak apa-apakan?” tanyanya.
“Oh, eh, enggak kok,” Aku tersadar dari lamunanku.
“Tan,”
“ya?”
“Kamu mau nggak jadi temen aku?”
“I, iya,”
Aku baru tau dari Rangga kalau ternyata dia adalah kakak kelasku. Dan sudah sewajarnya aku memanggil dia kakak. Ternyata dia siswa 3 IPA Unggul. Ternyatanya juga, dia tau kalau aku siswi 2 IPA 7. Aku malu sekali dengan id-ku yang satu itu.
*
“Hay Tania,” Kak Rangga menyapaku dipintu gerbang. “Tumben hari ini nggak terlat,”
“Hehe. Abis malas sih berurusan sama satpam jelek itu,” kataku sambil tersenyum.
“Hahaha. Kamu ada-ada aja,” Dia tertawa. Mau ekspresi seperti apapun dia kelihatan keren.
“Makanya, kamu jangan nakal lagi ya?” Dia mengacak-acak rambutku. “Kamu harus berubah,”
Memang dia tau apa kalau aku sering bertingkah yang aneh-aneh?
“Rangga!” Seseorang memanggilnya. Kami menoleh kebelakang.
“Mona?” lirih kak Rangga.
“Kak, aku deluan ya?” Aku berjalan meninggalkannya.
Dua orang murid laki-laki saling berkejar-kejaran dan berlari. Sepertinya arah mereka menuju aku.
“Bukh!” Mereka menabrakku. Sakit sekali.
“Hey! Kalian buta ya!” kak Rangga meneriaki dua orang itu. Mereka nggak peduli dan terus berlari.
Kak Rangga menghampiriku. “Ada yang terluka Tan?”
“Aku nggak kenapa-kenapa kak,” kataku sambil memegang erat lenganku yang sakit.
Aku kemudian pergi tanpa berbasa-basi.
“Tania!” Dia menghampiriku lagi.
“Kakak antar sampe’ ke kelas ya? Kakak cuma mau mastiin kalau kamu aman,”
Kulilirik kakak kelas yang ternyata bernama Mona itu. Dia memandangku sinis. “Nggak usah kak, nggak perlu,”
“Kakak juga sekalian mau ke kelas nih,” Dia merenggut tasku dan menjinjingnya dibahunya.
“Mon, gue duluan ya?”
Kami berjalan hingga akhirnya menaiki tangga.
“Kamu ada pe-er nggak Tan?”
“Pe-er? Tau ah. Selama ini aku kan nggak peduli soal itu,” pikirku dalam hati. “Kayaknya nggak ada deh kak,”
Aku berbelok ke kiri, sedangkan kak Rangga ke kanan.
“Sampai nanti Tania,”
“Sampai nanti juga kak,”
*
Pelajaran pertama adalah pelajaran bahasa inggris dan gurunya adalah bu Kokom. Benar-benar takdir buruk. Moga-moga aja beliau nggak datang.
“Eh Tan, Lin, kalian udah siap pe-er belom?” tanya Atha yang duduknya dibelakang kami.
“Udah dong,” jawab Nalin.
“Memang ada pe-er?” jawabku enteng.
“Ha?! Lagi-lagi lo nggak nyiapin pe-er?” ucap Atha heran.
Ibu Kokom datang. Ah, paling cuma di jemur doang dibawah tiang bendera. Apa susahnya sih.
“Siapa diantara kalian yang belum siap pe-er?” Tanya bu Kokom.
“Saya bu” Aku mengacungkan tangan. Dan pastinya cuma aku sendiri.
“TAANIIAAAAA!!!” Semua orang menutup telinganya masing-masing. Kalau dihitung dari awal ibu itu mengajar, pasti banyak murid-murid yang telinganya jadi korban. Ckckck. Menyedihkan. “Kamu itu ya, bandel banget sih jadi cewek. Disuruh ngerjain tugas nggak mau, ngerjain pe-er juga nggak. Maunya apa sih?!” Bu Kokom bener-bener buat seisi ruangan serasa dipenuhi ratusan suara.
“Yaelah buk. Apa susahnya sih bahasa inggris. Cuma ngomong doang mah gampang,” ucapku sepele.
“Arrrgggh…! Kamu, sampai kapan bisa menghargai guru, hah?!” Masih dengan ciri bu Kokom yang suka teriak-teriak.
“Sampai ibu sendiri bisa menghargai telinga orang lain,” balasku.
“Sekarang juga kamu keluarrrr!” ucapnya sambil menunjuk pintu. “Berjemur dibawah tiang bendera,”
*
Aku melangkah keluar kelas.
Kuhormati bendera yang berkibar dengan gagah. Sinar matahari menyayat-nyayat kulitku. Tapi aku udah terbiasa dengan ini. Jadi, jangan cemas ya?
Kulihat anak-anak kelas 3 IPA Unggul keluar kelas. Mereka memakai baju olah raga. Sepertinya mereka mau marathon mengelilingi sekolah.
Aku mencari-cari sosok kak Rangga. Ternyata dia berada ditengah-tengah segerombolan cewek. Mereka akrab sekali. Jangan-jangan kak Rangga pencinta wanita. Jadi salah kalau selama ini aku merasa kalau kak Rangga tertarik padaku.
*
Aku melihat kak Rangga bersama seorang cewek sedang melangkah keluar kantin. Sedangkan aku, Nalin, dan Atha, lagi duduk menikmati hidangan di bangku kantin.
“Ha?! Itukan kak Rangga?” tunjuk Nalin.
“Oh iya ya. Dengan cewek keberapa ratus lagi tuh?” ungkap Atha. Apa maksudnya?
“Kalian kenal dia?” Aku menyelipkan pertanyaan.
“Ya iya dong, Tania. Dia itu kan popular banget. Masa’ lo nggak tau sih?” Nalin berbicara dengan nada meremehkan.
“Makanya Tan. Kalau kita-kita pada nyeritain cowok, didengerin kek sekali-kali. Mau sampai kapan lo jadi jomblo telantar kayak gini?” tambah Atha. Nggak enak banget bicaranya.
“Terus, maksud lo cewek keberapa ratus lagi itu apa Tha?” tanyaku.
“Gini ya Tan. Kak Rangga itu terkenal suka gonta-ganti dan mainin perasaan cewek. Kalau dia pacaran sama seorang cewek, dia selalu mutusin targetnya dalam waktu seminggu. Dalam waktu yang berbarengan, dia bisa ngegaet enem sampe’ tuju cewek,” Aku tersentak nggak percaya dengan perkataan Atha barusan. Dijantungku serasa ada aliran listrik yang nyempil.
“Makanya gue benci banget sama dia. Tapi memang cewek-ceweknya juga sih pada goblok,” tambah Nalin.
Aku nggak ingin kenal lagi dengan bad boy jelek macam dia. Aku harus menghentikan rasa ketertarikan ini sebelum berubah jadi cinta.
“Lo jangan muna’ Lin. Dulu kan lo suka banget sama kak Rangga,” sahut Atha.
“Itu kan dulu Tha. Bedalah…,” Nalin nggak mau kalah.
“Kalau dia nembak elo gimana?”
“Hehe. Ya mikir-mikir dulu dong,”
“Berarti lo sama gobloknya dengan cewek-cewek itu.”
“Ih, Atha! Lo tega banget sih sama sobat sendiri. Heran!” Suara Nalin nyaris setara diketinggian.
Ya Tuhan… mendadak perutku sakit banget. “Auw!” rintihku.
“Tania! Lo kenapa?!” Nalin dan Atha kelihatan panik.
“Tau nih. Mungkin gara-gara kebanyakan naro’ saos di pangsit,” Aku semakin menekan erat perutku. Rasa melilitnya semakin menjadi-jadi.
“Kita anter ke UKS ya?” tawar Atha. Meskipun penampilannya tomboy, tapi pikirannya dewasa.
“Nggak perlu,” Aku beranjak. “Kayaknya gue musti ke toilet,” Aku langsung mengambil langkah seribu.
Sehabis siap membuang sial, aku melangkah keluar toilet. Lega rasanya. Sakit perutku berkurang sekarang. Walaupun sepertinya aku terkena diare. Apa?! Diare? Mampus. Jangan-jangan aku kemakan omongan sendiri lagi. Nyesal aku ngasih alasan payah itu ke pak security. Harusnya aku bilang aja kalau setiap malam aku nginap di Paris. Ya… Memang nggak masuk akal sih. Tapi siapa tau aja bisa jadi kenyataan. Hoho. Bukannya ucapan adalah doa?
Nun jauh di depan perpustakaan sana aku melihat kak Rangga dengan cewek yang beda. Mereka bermesraan dan saling canda tawa. Aku benci melihat pemandangan itu. Aku nggak tau kenapa. Padahal aku nggak berhak.
*
Lagi-lagi sore ini aku harus menjadi tukang cat di sekolah. Dan parahnya aku bertemu lagi dengan dia. Ada satu kalimat B4 untuknya, yaitu “Benci Banget Bad Boy.
Aku nggak sudi masuk kedalam perangkapnya.
Aku melanjutkan aktivitas cat-mengecatku. Sedikitpun aku tidak menoleh padanya. Aku tidak mau tau seberapa bagus permainan basket dia. Yang aku tau, aku harus menjauh dari kehidupan dia.
“Tania,” kak Rangga mendekatiku. Aku nggak senang dengan ini.
Aku memasang wajah cemberut. Kusut abis pokoknya. “Aku lagi sibuk. Mending kamu maen aja sana. Temen-temen lo pada nunggu tuh,”
“Tan, kok kamu jadi berubah gini?”
“Ini memang sifat asliku. Makanya, mulai sekarang jauhin aku. Anggap aja selama ini kita nggak pernah kenal,” ucapku ketus.
“Tania,” Dia menyebut namaku lirih dan akhirnya menjauh dariku.
“Buk!” Kurasakan isi dikepalaku berputar cepat. Saraf-saraf diotakku serasa menegang. Mataku seakan berbalik seratus delapan puluh derajat. Dan…
……..
…….
……
Aku membuka mata perlahan. Berat. Seperti ada yang menahan kelopak mataku. Remang. Terlihat atap bercat putih. Semakin lama semakin jelas. Terlihat alat-alat infus. Dan, ada seseorang disampingku. Ah, dia. Bahkan menyebut namanya saja aku tak sudi. Dia, dia menimpa tangan kanannya ketangan kananku. Aku ingin sekali menghindarinya. Tapi aku merasa tak berdaya. Malah kepalaku semakin sakit.
“Kamu udah siuman?” Dia kelihatan girang. Topeng. “Brian nggak sengaja ngelemparin bola basketnya kearah kamu. Jadinya kamu pingsan,”
“Terus, lo ngapain ada disini? Cepet pulang sana. Gue mau istirahat,” Aku memutar leherku kesamping kiri. Tak ingin melihat wajahnya.
“Tan, sebenernya salah aku apa? Tolong jelasin. Aku akan ngerubahnya untuk kamu,” Hh! Playboy memang paling pintar merangkai kata-kata.
“Gue nggak peduli. Yang gue mau, lo jangan pernah ada lagi dikehidupan gue,” Kataku dengan suara pelan. Seandainya aku nggak selemah ini, mungkin tikus-tikus di Afrika pun bisa mendengar suaraku.
“Tan, baru kali ini aku sedih gara-gara cewek,” Ha?! “Dan aku bisa terima itu asalkan kamu maafin aku dan nggak ngulangin permintaan yang sama. Kamu maukan maafin aku?”
Kuputar wajahku kearahya. Kutatap dia. Ada sinar ketulusan dimatanya. Mungkin nggak ada salahnya kalau aku memaafkan dia. Toh, kami hanya sekedar teman. Dan aku pasti bisa mengendalikan perasaanku untuk tidak tertarik padanya.
“Iya,” jawabku. Dia tersenyum manis sekali.
Suasana hening. Kami bertatapan mata lama sekali. Darahku berdesir. Ada suara degupan jantung.
“Tan,”
“Ya,”
“Aku berkali-kali menghubungi orangtuamu. Tapi keliatannya nggak ada respon sama sekali.”
Aku menghela nafas berat. Dia tampak bingung. “Percuma. Mereka pasti nggak akan peduli dengan aku. Yang ada diotak mereka Cuma bisnis.” Ah, sebenarnya aku malas membahas ini. Aku sudah terlanjur sakit hati atas kurangnya kasih sayang yang mereka berikan. Makanya selama ini aku sering berontak dan membuat orang-orang disekitarku jengkel.
“Maaf Tan. Harusnya aku nggak nanya’ soal itu,”
“Udah nggak apa-apa. Lupain aja,”
“Taniaaaaa…..,” Atha dan Nalin berhamburan kearah kami.
“Lo nggak kenapa-kenapa kan Tan?” Atha kelihatan cemas. Dia mengusap rambutku penuh takzim.
Sedangkan Nalin merasa nggak percaya dengan sosok yang ada disampingnya. Tampak jelas dari ekspresinya. “Loh, kak Rangga. Kok bisa ada disini?”
“Dia yang bawa aku kemari Lin,” Sambungku.
“Emmmb Tan. Aku balik ya? Ada jadwal latihan hari ini,” Kak Rangga pamit padaku.
“ya kak,”
“Eh kalian, gue deluan ya?” Dia juga pamit pada Atha dan Nalin.
“I, iya kak,” Mata Nalin mengawasi Rangga hingga ia lenyap dibalik pintu.
“Tan,” Kini Nalin menatapku. “Llo temenan dengan kak Rangga?”
“Bisa dibilang gitu,”
“Jangan-jangan, kak Rangga yang nemenin elo dua hari ini Tan,” simpul Atha.
“Ah, nggak mungkin,” sahut Nalin.
“Soalnya ya, kemaren sama hari ini dia nggak ada masuk sekolah. Anak-anak satu sekolahan kan pada heboh kalau dia nggak datang,” jelas Atha.
“Kalau gue sih ogah dijengukin sama kak Rangga. Diakan bad boy abis,” Nalin berceloteh. Tapi kelihatan dari wajahnya dia cemburu.
“Kalaupun dia bad boy, apa ruginya sih buat gue? Kita kan Cuma temen,” balasku.
“Haha. Bener juga lo Tan,” Atha menyetujui perkataanku.
*
“Selamat pagi sekolah,” Aku menyapa sekolah yang tak menyahutku. Sombong. Ah, yang penting aku bisa bersekolah lagi.
Aku berjalan menaiki tangga. Sepi. Anak-anak udah pada masuk kelas. Didalam hati aku juga mengucapkan syukur. Karena tadi pak security nggak ada di pos jaga. Jadi aku bisa leluasa memanjat tembok.
Sebelum aku berbelok kekiri, aku menoleh kesamping kanan. Siapa tau pak securitynya nongol disitu. Tapi disudut balkon, ku lihat seorang cewek sedang menangis terisak-isak. Dia sedang duduk dibangku. Aku nggak tega melihatnya. Dia menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya dia tempel didadanya. Kudatangi dia.
“Tap… Tap…,” Aku melangkah menujunya.
Aku tak berani menanyakannya. Karena sepertinya dia kakak seniorku.
Di tangga sebelah kanan, kudengar suara langkah kaki. Kuikuti. Kulihat sosoknya dari belakang. Dia pasti kak Rangga.
“Kak Rangga!”Aku memanggilnya ketika aku berada tidak jauh dibelakangnya. Dia menoleh.
Kudekati dia. “Kenapa sih lo selalu aja nyakitin hati cewek, hah?! Lo pikir lo siapa?! Ngelakuin apa aja seenaknya!” umpatku. “Heh! Denger ya, gue tuh benci banget sama elo. Dasar bad boy jelek!” Kutumpahkan semua amarahku padanya.
Aku berbalik meninggalkannya. Satu langkah…
“Kamu harus denger dulu penjelasan aku,” Dia menahanku dengan memegang pergelangan tanganku.
“Gue nggak butuh,” Aku berusaha melepaskan pegangannya. “Lepasin!” Aku semakin berontak. Pergelangan tanganku jadi lecet. “Kalau nggak, gue teriak!” ancamku.
Akhirnya dia menjauhkan tangannya dari tanganku. Aku langsung pergi meninggalkannya.
*
Sepulang sekolah aku berjalan sendirian. Aku tidak perlu membawa kendaraan dari rumah ke sekolah ataupun sebaliknya. Karena jaraknya hanya beberapa ratus meter.
“Tiiiiin,” Ada yang klaksonin aku. Aku menoleh. Seseorang keluar dari sebuah mobil bermerk viper SRT10. Dia kak Rangga.
Aku langsung lari sekuat tenaga.
“Taniaaa…,” teriaknya. Sepertinya dia mengejarku.
“Ya Tuhan… Berikan aku sayap,” Aku ingin terbang dan tak melihat lagi wajahnya walaupun sekilas.
“Buk! Aduh, sakit…,” Aku tersandung batu dan terjatuh. Lututku mengenai krikil-krikil nakal yang ada diaspal. Darahnya merembes keluar. Rasa ini sungguh nyeri tak terperi. Tapi aku harus bertahan. Aku harus bisa melarikan diri.
Terlambat sudah. “Taniaaa…,” Dia menambahkan kecepatan larinya.
Dia kelihatan cemas sekali. Haduuuh… Kenapa sih dia pinter banget masang ekspresi palsu?
Diangkatnya tubuhku.
“Ih, nggak sopan banget sih. Turunin gue…,” Aku menghentakkan kakiku. “Aduh!” Lututku malah semakin nyeri.
“Makanya, kali ini kamu nurut aja.” Dia tak berhenti menatapku. Jadi muak.
Sampai kapan aku digendong begini? Apalagi mobilnya jauh banget. Ha?! Dia mau melarikan aku.
“Gue mau pulaaaaang,” teriakku. Lagipula rumahku dekat. “Gue benci digendong sama lo.”
“Aku nggak peduli gimana perasaan kamu ke-aku. Yang aku mau, orang yang aku sayang nggak terluka lagi,” Apa?! Orang yang dia sayang? Pasti dia ingin merayuku dan menjadikanku korban selanjutnya. Nggak bakal!
“Gue pasti cewek keseribu yang denger omongan lo yang ini. Lo pikir gue nggak tau apa!”
“Aku akan jelasin. Tapi nanti,”
Dia bawa aku masuk kedalam mobilnya. Dia memutar arah dan mengambil sesuatu dari bagasi mobilnya. Ternyata kotak P3K. Dia juga ikutan masuk.
Dia meneteskan obat merah kelututku. “Auw! Sakit tauk…,” ketusku.
Dia juga memerbankan lukaku dengan sabar. Aku jadi bingung, yang salah aku apa dia?
Dihidupkannya mesin.
“Eh, lo mau bawa gue kemana?” Aku kaget.
“Kamu duduk manis disitu aja ya cewek anehku…,”
Fiuh! Apa maunya sih nih orang?
*
Kami berada di padang rumput yang sangat luas dan duduk dibangku yang ada dibawah pohon.
“Sebelumnya aku mau menyatakan pengakuan,”
“Apaan?” Aku penasaran setengah matang. Eh, setengah mati.
“Sewaktu dirumah sakit, aku nyium kamu,”
Pipiku memerah. Dadaku sesak. “Huaaaaaa…,”
“Cup! Jangan nangis,” Dia menyeka air mataku.
“Kamu jahat. Hiks… Hiks…,”
“Aku lakuin itu karena aku cinta banget sama kamu.”
“Kamu pasti udah sering mengatakan ini pada cewek-cewek yang lainkan?”
“Memang benar apa yang kamu bilang. Tapi nggak ada satupun yang aku ucapin tulus dari hati kecuali sama kamu,” Aku diam tak menjawab. “Aku juga nggak pernah beri perhatian ke-cewek lain seperti yang aku lakuin sama kamu,”
“Terus, kenapa kamu putusin kakak yang tadi?”
“Bukan dia aja. Tapi semuanya. Aku lakuin ini karena aku pikir kamu udah membuka hati buat aku. Kamu adalah cinta sejati aku,” Cinta sejati? Wah… senangnyaaa. Ups! Loh, kok?
“Tapi harusnya kamu nggak boleh nyakitin hati mereka,”
“Kalau aku ngelanjutin hubungan itu, aku akan nyakitin hati mereka lebih jauh lagi,”
Kak Rangga memang beruntung. Semua orang menyayanginya. Dia punya banyak teman. Cewek-cewek pada rela diduain karena saking sayangnya pada kak Rangga. Aku pernah dengar itu. Apalagi guru-guru, tiada pernah berhenti memberinya perhatian. Dia memang perfect. Sedangkan aku malah sebaliknya.
“Aku udah lama memendam perasaan ini ke-kamu. Sejak kamu kelas satu.” Deg! “Aku tau apa yang kamu suka dan apa yang kamu benci. Semuanya tertulis rapi dibuku diaryku,” Ha?! Aku nggak percaya dengan ini.
Dihatiku serasa ada kembang api, memberikan kejutan dan keindahan yang mempesona. Kebahagiaan ini tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Dan aku sadar, selama ini aku kesal dan marah padanya karena aku cemburu melihat dia bersama orang lain.
“Tapi kenapa, kenapa musti aku?” Aku kelihatan lugu.
“Kamu cantik, lucu, imut. Kamu nggak sadar kan kalau selama ini banyak cowok-cowok yang menaruh hati padamu?” Ha?! Mungkinkah? “Terlebih kamu itu aneh,” Hehe. Aku jadi malu dibuatnya.
Dia menuntunku utuk berdiri. Dipegangnya erat kedua bahuku dan menatapku lekat-lekat. “Cewek aneh, maukah kamu jadi pacarku?”
“Deg, deg,” suara jantungku lari-lari.
Aku mikir lama sekali. Biar dia penasaran.
“Iya bad boy jelekku…”

16.5.11

Puisi: Oh Inikah Cinta!


Saat tatapan kita saling beradu
Terasa bergetar di sudut jiwa
Hingga persendianpun menjadi kaku
Kau lumpuhkan aku

Ketika kau ada didekatku
Menari-nari relung batin ini
Berdebar-debar jantung hati
Hasrat ingin bersamamu

Wajahmu terlukis indah diotakku
Hatiku menyiaratkan rasa untukmu
Sungguh membelenggu merasakan rindu
Betapa sakit bila hatiku cemburu

Ingin kuteriakkan pada dunia
Semua yang sedang kurasa
Betapa aku mencinta
Tapi malah tertahan dilidahku

Ingin kupersembahkan melodi indah
Syair cinta yang menggema
Menyelebungi celah-celah hatimu
Terikatkan oleh tali cinta kita

Jangan tanyakan lagi
Jangan pernah ragukan
Tulus rasaku untukmu
Hanya dirimu dihatiku

15.5.11

Ketika Cinta Merasuk Di Jiwa


Cinta itu tidak dapat didefenisikan. Kita hanya mampu mendeskripsikannya. Meskipun pengetahuan tentang cinta menggunung-gunung. Walaupun pengalaman soal cinta seluas jagat raya.

Semua orang tak jemu-jemu untuk membahas soal cinta. Karena semua insan pasti pernah merasakannya.

Mungkin, rasa tertarik, suka, dan sayang itu bisa terbagi, bisa diberikan untuk banyak orang. Tapi cinta itu cuma satu. Makanya, salah besar jika seseorang mengatakan bahwa "masih ada perempuan/laki-laki lain diluar sana". Mereka hanya belum memahami makna cinta yang sebenarnya.

Cinta nggak pernah ketinggalan jaman dan mengikuti arus jaman. Dia selalu ada sepanjang masa. Dimulai dari Adam-Hawa hingga sampai saat ini dan masa yang akan datang.

Selain itu, cinta juga sangat tenar dan populer. Karena banyak seni atau karya yang menguak tentang cinta. Contohnya film, lagu, cerita, puisi, dll.

Ketika seseorang terkena panah asmara, rasanya ingin terbang ke langit yang ke-7 dan menari-nari diatas awan. Tapi ketika panah itu menjadi bisa yang beracun, rasanya ingin jatuh ke jurang yang paling dalam atau menenggelamkan diri didasar bumi. Huh, fase cinta itu benar-benar membingungkan.

Kamu nggak akan pernah mampu menghentikan rasa itu. Karena semua itu adalah kehendak Tuhan. Hanya Dialah yang bisa mendatangkan dan menghilangkannya dari hati kita.

Dan perlu kita ketahui.. Kalau cinta yang murni dan agung itu nggak pernah peduli dengan kekurangan atau kelebihan seseorang yang dicintainya. Yang dia tahu belahan jiwanya itu terlihat sempurna. Nggak ada rasa minder atau merasa diri lebih baik. Dua hati itu saling seimbang.

Tapi bagaimana jika cintanya itu bertepuk sebelah tangan? Ya, kita hanya bisa berdoa saja. Kembalikan kepada yang diatas.